Minat baca orang Indonesia tebilang sangat rendah dibandingkan
dengan negara-negara lain, Indonesia jauh tertinggal. Hal ini tidak
mengherankan karena sejak kecil kita tidak dididik orang tua kita untuk
mencintai buku. Kalau diberi uang saku maka anak Indonesia, biasanya akan
memakainya untuk membeli makanan (jajan). Itu sebabnya uang saku lebih sering
dikenal dengan sebutan "uang jajan", karena memang tujuannya untuk
membeli makanan. Jarang anak dididik untuk menggunakan uang sakunya untuk
sesuatu yang lain, misalnya untuk menyewa buku atau membeli alat tulis atau
buku. Hal-hal tersebut dianggap otomatis tugas orang tua untuk menyediakannya.
Anak tidak diajar dari kecil untuk bertanggung jawab terhadap kebutuhannya
sendiri. Alasan lain kenapa anak tidak menginginkan buku, karena harga buku
sering tidak terjangkau oleh "uang jajan" anak tadi.
Oleh karena itu untuk memungkinkan anak mencintai buku dan
memiliki minat membaca, maka orang dewasa harus terlibat dengan memberi teladan
dan membantu mengusahakan penyediaan buku bacaan bagi mereka. Sebetulnya sikap
"mencintai buku" (minat baca) biasanya lahir dari rumah. Jika orang
tuanya, atau orang dewasa yang tinggal serumah, ternyata mencintai buku dan
senang membaca, maka hampir bisa dipastikan anak juga akan gampang
"tertular", seperti kata pepatah (buah jatuh tidak jauh dari
pohonnya). Jika orang tua senang membaca maka dengan mudah buku-buku akan
dijumpai di berbagai tempat di rumah dan anak-anak jadi terbiasa melihat buku,
sehingga jika anak sedang tidak memiliki aktivitas lain, mereka akan lari ke
buku sebagai tempat untuk menghibur diri.
Para orangtua diharapkan ikut berpartisipasi menggerakkan
anak-anaknya untuk menumbuhkan minat membaca. Sebab, anak-anak yang tumbuh
dengan minat baca tinggi diyakini akan tumbuh menjadi generasi yang
berkualitas. Menumbuhkan minat baca pada anak merupakan langkah untuk
menciptakan generasi yang berkualitas di kemudian hari. Budaya baca harusnya
selalu dikembangkan, dengan demikian, akan menjadi kebutuhan hidup dan minat
baca hendaknya dibudayakan dari usia dini karena apabila telah dewasa penanaman
budaya baca akan lebih sulit diterapkan. Sejarah mengajarkan bahwa bangsa yang
maju adalah bangsa yang yg gemar membaca, oleh karena itu, otomatis kecerdasan
dan wawasan ilmu pengetahuan dan teknologi kian bertambah sehingga terjadi
peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang diperlukan untuk upaya
pembangunan yang berkesinambungan dan berkelanjutan.
Di samping itu, orang tua juga perlu menetapkan jam wajib
baca. Tiap anggota keluarga, baik orangtua maupun anak-anak diminta untuk
mematuhinya. Di tengah kesibukan di luar rumah, semestinya orangtua menyisihkan
waktunya untuk membaca buku, atau sekadar menemani anak-anaknya membaca buku.
Dengan begitu, anak-anak akan mendapatkan contoh teladan dari kedua orang
tuanya secara langsung.
Pengaruh Televisi dan Games
Kebiasaan anak-anak menonton televisi atau main games
ternyata jauh lebih besar ketimbang kebiasaan anak-anak membaca buku. Hal ini
tejadi karena televisi dan games mempunyai pengaruh yang kuat pada anak-anak.
Seperti kita ketahui televisi dan games membuat anak ingin terus
menonton/bermain tanpa pernah merasa puas. Perkembangan teknologi (games) yang
kian pesat juga berdampak terhadap kebiasaan anak-anak. Saat ini, anak-anak
lebih cenderung menghabiskan waktu luangnya dengan menonton televisi dan
bermain games yang semakin marak dan inovatif. Kendati televisi bukan media
interaktif bagi anak-anak, tetapi televisi termasuk media yang sangat diminati.
Hal ini karena televisi bersifat audio visual, mampu menghadirkan kajadian,
peristiwa, atau khayalan yang tak terjangkau panca indera dalam ruangan atau
kamar anak-anak. Televisi juga mampu mengingat 50 persen dari apa yang mereka
lihat dan dengar dari apa yang ditayangkan sekilas.
Mungkin Anda bertanya, bukankah televisi juga menyajikan
berita dan informasi yang juga bisa menambah wawasan? Memang betul, tapi
dibanding dengan buku (atau bahan bacaan lainnya), televisi memiliki sejumlah
kelemahan. Pakar komunikasi, Jalaluddin Rahmat, memberikan beberapa
argumentasi. Pertama, televisi adalah sebuah kegiatan yang orientasinya
betul-betul bisnis. Karena itu informasi dalam televisi akan cenderung
disajikan dan dikemas dalam bentuk-bentuk yang menarik, tidak terlalu sulit,
sederhana, dan mengandung unsur human interest. Kedua, televisi hanya
memberikan informasi sekilas, instan. Karena sekilas, tidak mungkin televisi
memberikan presentasi yang mendalam tentang sesuatu hal. Televisi tidak akan
memberikan informasi secara mendalam sehingga kita bisa melakukan refleksi.
Setali tiga uang dengan nasib buku, perpustakaan tampaknya belum populer di
mata masyarakat. Dapat dibandingkan, misalnya, frekuensi kunjungan anak-anak
yang kelak akan menjadi tulang punggung bangsa, ke mall atau rental playstation
dibandingkan ke perpustakaan. Mana yang lebih tinggi? Atau berapa banyak
koleksi kaset lagu yang mereka miliki dibandingkan koleksi buku?
Disamping itu, menonton adalah kegiatan yang bersifat pasif,
cenderung enjoy, dan tidak membangun unsur konseptual. Menonton hampir tidak
membutuhkan "proses berfikir". Menonton hanya mendapatkan hiburan!
Berbeda dengan menonton, membaca dapat memantapkan kemampuan pemikiran
konseptual yang tercermin dari kegiatan merumuskan kata atau ungkapan yang
mewakili gejala dalam kenyataan hidup. Maka jangan heran jika jam
nonton/bermain anak Indonesia masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan jam
belajar/baca, tentunya karena mereka lebih banyak menghabiskan waktunya untuk
menonton acara televisi dan bermain games. Data yang dikeluarkan BPS tahun 2006
menunjukan, bahwa masyarakat Indonesia belum menjadikan kegiatan membaca
sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Masyarakat lebih memilih menonton
televisi (85,9%) dan/atau mendengarkan radio (40,3%) ketimbang membaca koran
(23,5%) (sumber: www.bps.go.id).
Tidak dapat dipungkiri bahwa untuk meningkatkan budaya baca
tidaklah mudah, banyak faktor-faktor penghambatnya. Mengapa minat baca di Indonesia
rendah? Pertama, proses pembelajaran di Indonesia belum membuat anak-anak/siswa
harus membaca, atau mencari informasi/pengetahuan lebih dari apa yang
diajarkan, Kedua, banyaknya jenis hiburan, permainan (games) dan tayangan
televisi yang mengalihkan perhatian anak-anak dan orang dewasa dari buku.
Ketiga, banyak tempat hiburan untuk menghabiskan waktu seperti taman rekreasi,
tempat karoke, night club, mall, supermarket dan lain-lain. Keempat, budaya
baca memang belum diwariskan secara maksimal oleh nenek moyang. Kita terbiasa
mendengar dan belajar dari berbagai dongeng, kisah, adat istiadat secara verbal
disampaikan orang tua, tokoh masyarakat penguasa zaman dulu, anak-anak
mendengarkan dongeng secara lisan, dimana tidak ada pembelajaran (sosialisasi) secara
tertulis, jadi mereka tidak terbiasa mencapai pengetahuan melalui bacaan, dan
Kelima, sarana untuk memperoleh bacaan, seperti perpustakaan atau taman bacaan,
masih merupakan barang aneh dan langka.
Sarana Pendukung
Ada banyak faktor yang menyebabkan kemampuan membaca
anak-anak Indonesia tergolong rendah, seperti ketiadaan sarana dan prasarana,
khususnya perpustakaan dengan buku-buku yang bermutu dan memadai. Bisa
dibayangkan, bagaimana aktivitas membaca anak-anak kita tanpa adanya buku-buku
bermutu. Untuk itulah, ketiadaan sarana dan prasarana, khususnya perpustakaan
dengan buku-buku bermutu menjadi suatu keniscayaan bagi kita. Kita semua tahu
bahwa perpustakaan merupakan gudangnya ilmu dan informasi bacaan, baik yang
berkaitan dengan dunia pendidikan maupun pengetahuan umum, sehingga keberadaan
perpustakaan di lingkungan kita dirasakan sangat penting. Dengan adanya
perpustakaan, kita dapat mudah mencari referensi atau rujukan sumber ilmu yang
sedang dipelajarinya, dengan demikian kita dapat mengembangkan wacana serta
wawasan yang lebih luas.
Peran serta pemerintah dan masyarakat dalam menggalakkan
minat baca dengan berbagai fasilitas seperti taman baca atau perpustakaan
keliling, kalau perlu dilakukan di setiap taman kota yang ada, dan selayaknya didaerah-daerah
dibangun perpustakaan. Selain itu, pemerintah dapat bekerjasama dengan swasta
dalam meningkatkan sarana dan prasarana yang ada di perpusatakan, misalnya
melalui pemilihan lokasi yang strategis, tempat yang reperesentatif (tenang dan
nyaman), sarana yang memadai, petugas yang melayani, hari dan jam buka yang
panjang, penambahan jumlah koleksi buku serta jenis buku yang sesuai dengan
minat pembaca, serta promosi dan sosialisasi kepada warga yang menarik agar
mereka mengerti betul apa arti pentingnya budaya membaca. Semakin besar peluang
masyarakat untuk membaca melalui fasilitas yang tersebar, semakin besar pula
stimulasi membaca sesama warga masyarakat. Dengan mengetahui pentingnya
(manfaat) budaya membaca, marilah kita canangkan budaya gemar membaca untuk
diri kita sendiri, keluarga dan masyarakat sekitar. Mampukah kita...?
sumber: http://m.adicita.com/artikel/218-Ciptakan-Budaya-Membaca-Sejak-Dini